Menyelam Esensi Mencintai Bahasa Indonesia Seutuhnya

Dalam suatu negara pasti memiliki identitas nasional, yakni sebuah jati diri dari negara tersebut yang membedakannya dengan negara lain. Demikian juga dengan negara Indonesia.

Perlu kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara pluralistis karena keanekaragaman masyarakatnya yang terdiri dari keanekaragaman suku, ras, bahasa, agama, budaya, dan lain sebagainya.

Maka tentunya dalam pembentukan identitas nasional perlu perjuangan yang panjang, karena kita tahu bahwa identitas nasional berarti mencakup kesepakatan secara menyeluruh (nasional).

Maka, dengan keanekaragaman yang ada, perlu perjuangan panjang untuk dapat menciptakan identitas nasional dari kesepakatan seluruh perbedaan masyarakat yang tersebar di wilayah seluas 5.193.250 km2.

Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli

Salah satu yang menjadi identitas nasional suatu negara adalah bahasa. Menurut Tarigan (1989:4), pendefinisian bahasa ada dua.

Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif. Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.

Kemudian Chaer (1994), juga menegaskan bahwa bahasa sebagai suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri.

Menyoroti pendapat Chaer (1994) mengenai bahasa yang digunakan juga untuk mengidentifikasi diri, menarik kita pada kesadaran bahwa bahasa memang perlu menjadi salah satu dari identitas nasional.

Di Indonesia, bahasa yang menjadi identitas nasional adalah bahasa Indonesia. Mengapa harus bahasa Indonesia yang menjadi identitas nasional? Hal ini selain karena perjuangan para pahlawan terdahulu yang mengikrarkan pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, yang digunakan sebagai alat perjuangan, juga karena kita tahu bahwa bahasa daerah di Indonesia sangatlah kaya.

Seperti pada kutipan di laman Kompas bahwa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), memublikasikan data bahwa saat ini terdapat 718 bahasa ibu yang sudah teridentifikasi di Indonesia.

Pengertian Bahasa Ibu di Indonesia

Pengertian Bahasa Ibu menurut KBBI daring merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Sementara di lingkup Indonesia, bahasa ibu diidentikan dengan bahasa daerah.

Mengingat ada ratusan bahasa daerah di Indonesia, maka peran bahasa Indonesia sendiri bagi negara Indonesia sebenarnya bukan hanya sebagai identitas nasional, tetapi juga sebagai bahasa persatuan.

Pastinya jika tidak ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang telah disepakati bersama dan digunakan secara resmi di seluruh bumi Nusantara ini, akan dapat menimbulkan hambatan berkomunikasi antara satu daerah dengan yang lainnya.

Mengetahui urgensi bahasa Indonesia bagi negara Indonesia ini, tentu menjadikan pembahasan bahasa Indonesia selalu menarik. Dewasa ini, fenomena-fenomena gaya bahasa tidak jarang membuat gentar eksistensi bahasa Indonesia yang kemudian menyoal esensi mencintai bahasa Indonesia seutuhnya.

Maraknya penggunaan bahasa gaul atau pun pencampuran bahasa, tidak jarang membuat para pemerhati bahasa turut mengulik fenomena bahasa tersebut. Salah satu buktinya adalah webinar linguistik yang diselenggarakan oleh Himaprodi PBSI Universitas Tidar pada 2020 lalu, yang turut mengulik penggunaan bahasa gaul, yakni penggunaan kata
“anjay”.

Dengan mengangkat tema “Ada Apa dengan Kata Anjay?? Kupas Tuntas Kata Anjay dari Segi Linguistik”. Menguliti kata “anjay” yang dibahas bersama pembicara dari tenaga pendidik Universitas Tidar, Herpindo, S.Pd., M.Hum. dan Rangga Asmara, S.Pd., M.Pd., nyatanya webinar tersebut sukses menarik perhatian lebih dari 500 orang.

Di sisi lain, tidaklah kita menutup telinga, bahwa pencampuran bahasa semakin luwes terdengar di semua kalangan. Pencampuran bahasa yang sering terdengar adalah penggunaan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Inggris.

Para pengguna bahasa campuran itu memiliki argumen masing-masing dalam penggunaannya, mulai dari argumen untuk belajar percaya diri menggunakan bahasa Inggris yang belum terlalu fasih, hingga argumen agar terlihat keren.

Argumen-argumen yang terlontar dari para pengguna bahasa campuran itu memunculkan kembali pertanyaan tentang bagaimana esensi mencintai bahasa Indonesia seutuhnya?

Pengertian Bahasa Gaul

Dalam KBBI (2007) mendefinisikan bahasa gaul sebagai dialek bahasa Indonesia nonformal yang digunakan oleh komunitas tertentu untuk pergaulan.

Menengok pada tulisan di laman http://polyglotindonesia.org/id/article/bahasa-gaul yang diunggah pada 2014 lalu, menjelaskan bahwa bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak 1970-an.

Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena sering juga digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.

Penggunaan bahasa gaul yang menjadi bahasa sehari-hari, menimbulkan persepsi bahwa jika seseorang tidak menggunakan bahasa gaul, maka orang tersebut diklaim ketinggalan zaman.

Perkembangan zaman memang suatu hal yang harus kita sikapi. Penyikapan terhadap perkembangan zaman tidak selalu dengan mengikutinya, ada kalanya kita harus bisa menyaring segala informasi baru, yang mana hal tersebut merupakan salah satu akibat adanya globalisasi.

Semua informasi yang mengglobal, bukan berarti harus kita terima semua, apalagi menerimanya mentah-mentah, tidak demikian. Memfilter informasi diperlukan guna menyelaraskan hal baru tersebut dengan sosial dan budaya masing-masing negara, sehingga tidak menimbulkan pertentangan apalagi ancaman untuk negaranya sendiri.

Sadar atau tidak, penggunaan bahasa gaul sudah mendominasi dalam berkomunikasi, khususnya di kalangan remaja. Terlihat dari sosial media yang dibanjiri oleh bahasa-bahasa gaul. Rasanya semakin sulit menemukan kalangan remaja yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, misalnya menggunakan bahasa yang baku, karena justru penggunaan bahasa baku itu dinilai kaku.

Akibatnya, setiap tahun bahasa gaul tumbuh subur dengan terus berkembang di kalangan remaja. Penambahan kosakata bahasa gaul di tahun ini contohnya adalah kata ghosting, hyung, bun/bund, canda, damage, nolep, uwu, halu, monmaap, dan sokin (TribunPalu.com, 27/01/2021)

Pencampuran Bahasa? Biasakah?

Sudah terdengar begitu luwes perbincangan di kalangan remaja yang menggunakan percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Sebelum pencampuran bahasa terdengar masif sampai sekarang ini, pencampuran bahasa sudah sempat booming dengan sebutan “bahasa anak Jaksel”.

Hal tersebut didukung dengan kutipan dari CNN Indonesia 2018 lalu disebutkan bahwa beberapa waktu belakangan, which is, basically, literally mendadak populer dan jadi ‘bahasa anak Jaksel’ (Jakarta Selatan). Fenomena pencampuran bahasa tidak lepas juga karena pengaruh perkembangan zaman yang didorong oleh berkembang pesatnya teknologi dan informasi.

Bermula dari penggunaan bahasa asing dengan argumen tuntutan globalisasi, hingga pemikiran bahasa asing lebih keren digunakan. Terkait argumen penggunaan bahasa asing karena tuntutan globalisasi, tidak jarang hal ini menimbulkan usaha orang tua untuk mengajarkan bahasa asing kepada anaknya sejak dini.

Sebenarnya tidak ada salahnya belajar bahasa asing, karena bangga dengan bahasa Indonesia juga bukan berarti kita hanya mempelajari bahasa Indonesia saja, namun yang perlu kita ingat kembali adalah bahasa Indonesia sebagai identitas nasional Indonesia, yang artinya bahasa Indonesia sudah seharusnya melekat pada setiap diri masyarakat Indonesia.

Sementara, jika kita berbicara mengenai bahasa Inggris yang dianggap keren, Devie Rahmawati, Pengamat sosial budaya dari Universitas Indonesia, menuturkan dalam liputan CNN Indonesia (19/09/2018) bahwa, “orang Indonesia terbiasa dengan struktur sosial hierarkis. Jadi, ada status sosial tertentu yang bila digunakan akan mendapatkan penghormatan.

Bahasa Inggris dianggap mewakili simbol itu, berpendidikan tinggi, kekayaan dan kehormatan.”

Anggapan bahasa Inggris lebih tinggi daripada bahasa Indonesia tidak lepas juga dari penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Sehingga, kedudukan bahasa Inggris dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

Hal inilah yang turut menjadi faktor adanya percampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, di samping karena pengaruh globalisasi. Devie kembali berpendapat mengenai manifestasi bahasa Indonesia dalam bentuk bahasa campur, ”dalam konteks bahasa Indonesia, yang paling menarik adalah manifestasinya dalam bentuk bahasa campur sari atau ganda campuran, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,” (CNNIndonesia.com, 19/09/2018).

Bahkan, ia mengungkapkan juga bahwa bukan hal buruk fenomena pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris yang terjadi di Indonesia. Pernyataan pendukung juga diungkapkan oleh Dennis, vlogger dan instagramer asal Amerika yang kini menjadi guru bahasa.

Dalam liputan yang sama, Dennis mengungkapkan bahwa pencampuran dua bahasa ini bukanlah hal yang aneh dan ia pun tidak memandang pencampuran bahasa ini sebagai suatu masalah yang besar.

Pembelaan yang sering terdengar adalah penggunaan bahasa campuran hanya untuk menambah keberanian menggunakan bahasa Inggris yang belum terlalu fasih. Namun, tidak bisa dimungkiri jika penggunaan bahasa campuran didominasi oleh ideologi bahwa mereka akan terlihat lebih keren ketika berkomunikasi dengan mencampurkan bahasa Inggris.

Padahal, dalam konteks bahasa Indonesia sebagai identitas nasional, bahasa asing bisa menjadi ancaman terhadap bangsa Indonesia. Seperti yang diungkapkan Agustin, 2011 dan Listiyorini, 2013, bahwa munculnya bahasa asing dalam bentuk kata dan kalimat dalam beragam komunikasi di media sosial dinilai sebagai ancaman bagi kemurnian bahasa, bahkan bagi identitas nasional.

Melirik pada kasus tergesernya bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa ibu di Singapura dengan mendominasinya bahasa Inggris dalam berkomunikasi di Singapura, menjadi contoh bahwa ancaman bahasa asing terhadap kemurnian bahasa dan identitas nasional begitu nyata. Pada Desember 2012 lalu, di laman kompas, Jamal Tukimin, budayawan Melayu asal Singapura dalam dialog budaya Melayu di Pekanbaru, menyatakan bahwa penggunaan bahasa Melayu dalam pengantar sehari-hari di kalangan orang Melayu juga semakin sedikit.

Bahkan, pengantar khotbah di masjid-masjid menggunakan bahasa Inggris. Dari enam madrasah yang ada di sana, seluruhnya menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar, ada pun Bahasa Melayu hanya merupakan salah satu mata pelajaran semata.

Pergeseran bahasa Melayu oleh bahasa Inggris turut disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAM Riau Al Azhar di Pekanbaru yang mengungkapkan bahwa, “seperti contoh penggunaan bahasa Melayu di negeri jiran Singapura telah tergerus sekitar 30 sampai 40 persen dari jumlah penduduk suku Melayu sekitar 500 ribu orang akibat terpengaruh budaya asing, terutama bahasa Inggris,”(Riaubook, 19/3/2015}.

Selain kasus pergeseran bahasa ibu di Singapura, platform Malaysia juga kebanyakan tidak menggunakan bahasa Melayu, melainkan bahasa Inggris. Begitu pun dalam pendidikan, khususnya pada pembelajaran sains dan matematika, pemerintah Malaysia kembali menerapkan Pengajaran dan Pembelajaran Sains dan Matematika dalam Bahasa Inggris (PPSMI).

Yang mana pengajaran dalam bahasa Inggris sempat diperkenalkan ketika 2003 dan dibatalkan pada 2012 karena menimbulkan banyak protes. Pemberlakuan kembali itu disampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pada Majelis Amanat dan Aspirasi Perdana Menteri Merangkap Pemangku Menteri Pendidikan Bersama Warga
Kementerian Pendidikan di Pusat Konvensi Antarbangsa Putrajaya (PICC), (REPUBLIKA.CO.ID, 07/02/2020)

Dalam liputan tersebut, Mahathir juga menyampaikan bahwa, “saya Melayu. Saya sayang kepada bangsa dan bahasa Melayu. Tetapi kita perlu memberi pertimbangan kepada kemajuan bangsa. Sebenarnya jika sayang kepada bangsa, utamakan keberhasilan sebagai satu bangsa dan kemajuannya lebih dari hanya menggunakan bahasa sendiri saja.”

Dari kasus-kasus bahasa pada negara tetangga, yang perlu kembali kita sadari adalah bahasa asing yang ditumbuh kembangkan dalam suatu negara dengan memberinya ruang untuk membudidaya di seluruh tatanan kehidupan, dapat mengancam eksistensi bahasa ibu dari negara tersebut. Termasuk pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Jika melihat dari sisi linguistik, penggunaan bahasa campuran itu merupakan campur kode. Kridalaksana (2008:40), menyatakan bahwa campur kode adalah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa.

Namun, yang perlu kita perhatikan dengan bijak adalah adanya ragam bahasa tersebut apakah memperkaya khazanah budaya negara tersebut, atau justru merusaknya?
Perlu diketahui bahwa pencampuran dua bahasa hanya akan merusak salah satu bahasa tersebut, karena lama-kelamaan salah satu bahasa akan hilang. Dan jika kita melihat fakta sekarang, yang kebanyakan orang Indonesia menganggap bahasa Inggris lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia, maka bahasa yang berpotensi hilang adalah bahasa Indonesia.

Lantas?

Bukan bertanya perihal kecintaan kita pada bahasa Indonesia, hanya bertanya bagaimana esensi mencintai bahasa Indonesia seutuhnya. Seluruh warga negara Indonesia jelas mengaku mencintai bahasa Indonesia, namun pernahkah kita menyelam lebih dalam lagi dari esensi mencintai bahasa Indonesia secara utuh? Apakah maknanya kita hanya terbelenggu dengan bahasa Indonesia saja, tanpa diizinkan menggunakan bahasa asing? Apakah maknanya kita hanya diizinkan menggali sejarah bahasa Indonesia saja tanpa diizinkan meneliti sejarah bahasa asing? Dan kemudian berujung pada pertanyaan, apakah maknanya kita tidak nasionalis jika tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Sebagai generasi milenial yang digadang-gadang lebih kritis daripada generasi sebelumnya, sudah seharusnya mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang bangsanya sendiri, lebih lagi mengenai bahasa yang tidak pernah lekang pembahasannya oleh perubahan masa.

Kita bisa menanyakan ihwal mencintai bahasa Indonesia kepada diri kita sendiri, sungguhkah hati dan tindakan kita sudah sesuai dengan ucapan kita? Sebab, mencintai bahasa Indonesia yang sebenarnya dan seutuhnya, bukan tentang seberapa lantang kita mengatakan bahwa kita mencintai bahasa Indonesia, tapi bagaimana hati dan tindakan kita mengangkat tinggi derajat bahasa Indonesia melalui perasaan bangga memilikinya dan tindakan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, artinya kita menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan situasi.

Sementara menggunakan bahasa Indonesia dengan benar adalah menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah kebahasaan Indonesia. Lantas, benarkah jika tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar adalah wujud sikap tidak nasionalis? Jika pertanyaan tersebut benar-benar kita lontarkan kepada diri kita sendiri, maka esensi mencintai bahasa Indonesia dalam diri kita dipertaruhkan.

Rasa cinta yang sesungguhnya kepada bahasa Indonesia, tentunya akan mendorong kita untuk mempelajari dan mengaplikasikan bahasa Indonesia secara benar dan utuh. Dengan demikian, kita akan dapat memosisikan bahasa Indonesia dalam kehidupan kita sesuai dengan kedudukannya.

“Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.”*** (CDP)

Mungkin Anda Suka